Jakarta, Anak dengan Disabilitas (AdD) bisa disebut sebagai hidden population. Sebab, mereka dekat dengan penelantaran, kekerasan, dan diskriminasi yang terjadi karena adanya stigma dari masyarakat yang berdampak pada perilaku keluarga.
Apalagi, kebanyakan program untuk AdD berupa charity, demikian diutarakan Wiwied Trisnadi selaku Project Manager Save The children/IKEA Foundation. Terkait pendidikan, sekolah yang siap menerika AdD pun terbatas ditambah kapasitas guru dan terjadinya bullying dari sesama siswa.
"Belum lagi persepsi bahwa anak dengan disabilitas tidak bisa apa-apa. Padahal, anak bisa dilatih kok dan mereka pasti punya kemampuan yang menjadi kelebihan bagi masing-masing anak," tegas Wiwied di sela-sela temu media 'Save the Children: Equal Rights Equal Opportunities' di Bebek Bengil Resto, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (9/12/2014).
"Terapis terbaik untuk AdD adalah keluarga. Sebab, tenaga profesional jarang punya rasa kasih sayang seperti keluarga, terutama orang tua. Meski orang tua skillnya terbatas tapi anak bisa berkembang karena ada rasa kasih sayang, sehingga telaten dan sabar dan anaknya bisa berkembang," papar Wiwied.
Sayangnya ada hambatan yakni keterbatasan keluarga atau pengasuh dalam memberi layanan yang berkualitas bagi anak. Selain itu, khususnya di Indonesia, banyak anak yang tinggal di wilayah yang sulit dijangkau. Berangkat dari hal itu, organisasi non-profit dunia, Save The Children bekerja sama dengan berbagai pihak termasuk pemerintak mendirikan Rehabilitasi Berbasis Masyarakat (RBM).
Layanan berbasis keluarga bagi anak dengan disabilitas di Indonesia diadakan di 6 kabupaten/kota di Jawa Barat yaitu Kota Bandung, Cimahi, Kabupaten Bandung Barat, Sumedang, Garut, dan Kabupaten Bandung sejak 1 Juli 2012.
Bagi keluarga, program ini ditujukan untuk membangun komunikasi antar keluarga dan menghubungkan keluarga ke semua layanan seperti terapis, pemerintah daerah, atau keluarga lain yang juga memiliki anak dengan disabilitas. Dilakukan juga kampanye pada masyarakat guna menghapus stigma pada AdD, serta diadakan kerja sama dengan pemerintah.
"Dilakukan pula pendidikan inklusi dengan mengubah paradigma pada guru, orang tua, dan pemerintah bahwa bagaimana semua anak dengan kondisi berbeda mendapat evaluasi, pengajaran, dan kurikulum yang disesuaikan dengan kebutuhan anak," tutur Wiwied.
Selain itu, orang tua juga diberi pelatihan untuk memberi terapi pada anak. Misalnya pada anak yang sulit berjalan, diberi pelatihan untuk melenturkan kaki anak dan melatih si kecil berjalan. Tak hanya itu, orang tua juga disorong untuk berpartisipasi dalam proses pendidikan. Selama berjalannya program ini, sebanyak 2.875 anak di RBM mendapat layanan rutin RBM. Kemudian, 436 AdD sudah bisa mendapat akses di sekolah reguler dan telah diadakan pelatihan kepada 2.650 orang tua atau pengasuh.
Apalagi, kebanyakan program untuk AdD berupa charity, demikian diutarakan Wiwied Trisnadi selaku Project Manager Save The children/IKEA Foundation. Terkait pendidikan, sekolah yang siap menerika AdD pun terbatas ditambah kapasitas guru dan terjadinya bullying dari sesama siswa.
"Belum lagi persepsi bahwa anak dengan disabilitas tidak bisa apa-apa. Padahal, anak bisa dilatih kok dan mereka pasti punya kemampuan yang menjadi kelebihan bagi masing-masing anak," tegas Wiwied di sela-sela temu media 'Save the Children: Equal Rights Equal Opportunities' di Bebek Bengil Resto, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (9/12/2014).
"Terapis terbaik untuk AdD adalah keluarga. Sebab, tenaga profesional jarang punya rasa kasih sayang seperti keluarga, terutama orang tua. Meski orang tua skillnya terbatas tapi anak bisa berkembang karena ada rasa kasih sayang, sehingga telaten dan sabar dan anaknya bisa berkembang," papar Wiwied.
Sayangnya ada hambatan yakni keterbatasan keluarga atau pengasuh dalam memberi layanan yang berkualitas bagi anak. Selain itu, khususnya di Indonesia, banyak anak yang tinggal di wilayah yang sulit dijangkau. Berangkat dari hal itu, organisasi non-profit dunia, Save The Children bekerja sama dengan berbagai pihak termasuk pemerintak mendirikan Rehabilitasi Berbasis Masyarakat (RBM).
Layanan berbasis keluarga bagi anak dengan disabilitas di Indonesia diadakan di 6 kabupaten/kota di Jawa Barat yaitu Kota Bandung, Cimahi, Kabupaten Bandung Barat, Sumedang, Garut, dan Kabupaten Bandung sejak 1 Juli 2012.
Bagi keluarga, program ini ditujukan untuk membangun komunikasi antar keluarga dan menghubungkan keluarga ke semua layanan seperti terapis, pemerintah daerah, atau keluarga lain yang juga memiliki anak dengan disabilitas. Dilakukan juga kampanye pada masyarakat guna menghapus stigma pada AdD, serta diadakan kerja sama dengan pemerintah.
"Dilakukan pula pendidikan inklusi dengan mengubah paradigma pada guru, orang tua, dan pemerintah bahwa bagaimana semua anak dengan kondisi berbeda mendapat evaluasi, pengajaran, dan kurikulum yang disesuaikan dengan kebutuhan anak," tutur Wiwied.
Selain itu, orang tua juga diberi pelatihan untuk memberi terapi pada anak. Misalnya pada anak yang sulit berjalan, diberi pelatihan untuk melenturkan kaki anak dan melatih si kecil berjalan. Tak hanya itu, orang tua juga disorong untuk berpartisipasi dalam proses pendidikan. Selama berjalannya program ini, sebanyak 2.875 anak di RBM mendapat layanan rutin RBM. Kemudian, 436 AdD sudah bisa mendapat akses di sekolah reguler dan telah diadakan pelatihan kepada 2.650 orang tua atau pengasuh.
#SEFT
Spiritual Emotional Freedom Technique
#SEFT
(Spiritual Emotional
Freedom Technique)
Total Solusi
mengatasi masalah emosi dan
fisik Anda
Informasi
Training, Terapi dan
Konsultasi SEFT
Endang Swastyaskuningsih,
MPd., SHT
0816 1928 845 / 2A31E6F1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar